Pages

Subscribe:

RUBIXELL

Rubixell merupakan usaha yang melayani penjualan asesoris handphone secara eceran maupun dalam bentuk grosiran. Rubixell juga membangun sistem mitra kepada calon anggota member baru. Kami memberikan harga khusus kepada member, bonus tambahan penjualan, dan sistem poin dengan berbagai macam doorprize yang member dapatkan. Info lebih lanjut dan pemesanan dapat menghubungi saya di email : Antoni24first91@yahoo.co.id

Statistik Blog

My Friends

Cari Blog Ini

Senin, 27 Februari 2012

Kepribadian "Labil" : Takut Mengambil Resiko


Hidup adalah sebuah masalah, dan masalah adalah resiko kehidupan. Manusia yang sehat adalah manusia yang mau menerima resiko kehidupan tersebut. Manusia tanpa masalah seperti mayat berjalan, karena semua makhluk hidup mempunyai masalah masing-masing.
Apakah masalah itu merupakan sebuah sebuah rintangan dalam kehidupan? Sekejap, memang dilihat, bahwa masalah adalah sebuah rintangan. Tetapi, hanya manusia yang mampu melewati rintangan yang akan terus hidup. Dalam teori evolusi, disebut sebagai seleksi alam, hanya makhluk hidup yang kuat yang akan bertahan (survival pit test).
Pada manusia, masalah sebenarnya adalah sebuah latihan untuk meng-upgrade kemampuan. Semakin besar masalah, semakin tinggi posisi yang akan dicapai, semakin banyak masalah, semakin kuat untuk untuk survive (bertahan).
Dinamika kepribadian manusia adalah unik. Ada yang menyukai tantangan sebagai sebuah petualangan, dan ada yang menyukai “rasa aman” dan jaminan dalam kehidupan. Mengapa orang Indonesia berlomba-loba menjadi PNS? Karena PNS menjamin kehidupan masa tua. Mengapa orang-orang yang lahir dari keluarga pengusaha lebih menyukai menjadi pengusaha? Kemungkinan karena mereka belajar tantangan dari keluarga mereka. Perlu diingat bahwa, orang yang lahir dari tantangan yang besar adalah orang-orang yang akan survive.
Resiko yang besar membutuhkan pengorbanan yang besar. Sebenarnya perbedaan orang cerdas dan kurang cerdas hanya pada pemilihan resiko ini. orang cerdas adalah orang yang berani mengambil keputusan dengan memperkirakan keuntungan yang besar dengan resiko terkecil. Tetapi terkadang orang kurang cerdas, tidak bisa memperhitungkan keuntungan dan resiko yang akan diterima. Bayangkan saja misalnya, seandainya orang Indonesia berlomba-lomba menjadi pengusaha, maka akan semakin banyak orang kaya di Indonesia,  dari pada berlomba-lomba menjadi PNS yang hanya akan menimbulkan birokrat yang miskin, kalau mau kaya, jalan satu-satunya hanyalah korupsi. Ini karena sebagian besar dari kita tidak mau mengambil resiko yang besar.
Takut mengambil resiko adalah orang-orang yang berkepribadian, labil karena tantangan yang diterima adalah tantangan yang kecil-kecil (gurem) sehingga dalam menjalani kehidupan, sumber referensi mereka juga sedikit, kurang pengalaman. Mereka tidak mau bersusah payah menaiki tangga yang tinggi, padahal diatas sudah disediakan makanan yang lesat-lesat, jadilah dia ngiler dibawah. Mereka berusaha mencari tantangan kecil yang aman untuk mendapatkan hasil yang besar, sebuah harapan yang mustahil. Menangkap ikan pakai jala udang, mustail dapat menangkap ikan hiu.
Orang yang takut mengambil resiko akan selalu berubah-ubah pendirian, karena selalu memperhitungkan untung rugi masa sekarang, bukan karena untuk meraih cita-cita yang besar. Perbedaan antara judi dan pilihan kehidupan terletak pada kekuatan bertahan. Pada permainan judi, situasi sekarang akan sangat mempengaruhi. Tetapi pilihan kehidupan, keberhasilan di tentukan pada kekuatan bertahan.
Orang labil lebih didominasi oleh perasaan daripada kekuatan pikiran mereka. Padahal perasaan biasanya selalu menipu, dan terkadang tidak rasional. Jadilah orang labil selalu berubah-ubah pikiran dan pendapat, sehingga dikenal sebagai seorang yang tidak dewasa.
Dilihat dari gender, perempuan lebih labil daripada laki-laki, karena perempuan selalu mengutamakan perasaan daripada pikiran yang rasional.
Jadilah orang cerdas yang kuat, menantang resiko yang besar, untuk meraih kesuksesan.

Sumber: http://www.psychologymania.com/2011/09/takut-mengambil-resiko-bukti.html

Mengenang

 

Manusia adalah makhluk yang bereksistensi. Manusia adalah makhluk yang bebas. Namun ada satu hal yang menjadi batas dari kebebasannya yaitu Kematian.

Beberapa hari ini belum sempet nulis apa-apa. Mood juga terasa kurang bagus beberapa hari ini. Harus kehilangan lagi satu orang sahabat yang menjadi inspirasi dan teman berbagi dulu waktu SMA. anak yang menjadi harapan besar keluarga harus mendahului sang orang tua bertemu yang Maha Kuasa. Kenangan sewaktu sekolah dengannya takkan pernah terlupa. Sahabat yang selalu memberi motivasi dan senyuman semangat untuk jiwa yang mulai patah semangat. Kini dia harus pergi. Bagi setiap orang yang mengenang mungkin terasa tidak ikhlas untuk melepasnya pergi. Begitu banyak cerita, canda, tawa, sedih, dan duka yang saling kita bagi bersama dengannya. Namun tak ada kata lagi yang mampu untuk membuatnya kembali selain doa yang mengantarnya bertemu dengan Sang Pencipta dan duduk dipangkuan-Nya.

Selamat jalan kawan (Aditya Nugraha). .
Doa kami akan terus mengantar jalanmu.
Bagi keluarga dan teman-teman yang merasa kehilangan sosoknya semoga dapat tabah dan tetap semangat meneruskan perjuangannya. Perjuangannya adalah perjuangan kita untuk mencapai menjadi manusia yang berguna bagi keluarga dan lingkungan kita. Biarlah sedih itu menjadi senyuman yang membuatnya tenang ditempat peristirahatannya.

Tulisan ini sedikit menjadi kabar untuk kawan-kawan sebagai tanda perkenangan dan membangun semangat yang runtuh. Pepatah mengatakan 'Mati satu tumbuh seribu', kita memang kehilangan sosoknya, biarlah sosoknya menjadi inspirasi baru dan kekuatan untuk kita bangkit dengan semangat yang baru.
SEMANGAT. . .

Salam Dahsyat

Selasa, 21 Februari 2012

Siapakah Aku?


 












Ilustrasi


JAKARTA, KOMPAS.com — Ini merupakan pertanyaan mendasar yang dibutuhkan jawabannya oleh setiap manusia. Individu disebut sehat secara psikologis jika menemukan dirinya sebagai pribadi unik tanpa keterpisahan dari orang lain. Kendati perasaannya menyatu dengan semua orang, ia tidak meleburkan diri pada kelompok secara membabi buta alias mengenakan identitas massa.

“Saya seorang pengusaha”, “saya seorang polisi”, “saya seorang dokter”, “saya orang Jawa”, ”saya keturunan Arab”, “saya beragama Islam”, “saya orang Katolik”, dan sebagainya merupakan pernyataan yang dapat sangat berarti. Kebangsaan, suku, agama, status/profesi sering kali membantu memberikan rasa identitas sebelum seseorang menemukan yang asli dan unik.

Untuk mengetahui adanya kesadaran mengenai identitas sejati dalam diri kita, dapat dibayangkan dengan mengandaikan situasi ketika seseorang bertanya, “Siapakah aku menurut yang kamu ketahui?” Mungkin ada yang menjawab, “Kamu seorang pengusaha yang sukses” atau “Kamu orang Ambon beragama Islam”, dan lain-lain.
 
Apakah kita cukup puas dengan mengetahui identitas kita seperti itu?  Apakah kita sudah merasa sangat berharga dengan keanggotaan kita dalam suatu kelompok kebangsaan, suku, agama, status/profesi?

Jawaban seperti itu tidak akan cukup memuaskan orang yang telah menemukan siapa sejati dirinya. Ia baru akan puas bila mendapat jawaban yang sesuai dengan pengenalannya terhadap diri sendiri yang unik, seperti “Kamu itu sersan: tampak santai-santai ternyata serius,” atau “Kamu orang yang unik: tegas tetapi lembut juga,” atau “Kamu ini bertampang residivis, tetapi berhati malaikat,” dan sebagainya.

Namun, penemuan identitas diri sebenarnya tidaklah sesingkat jawaban-jawaban tersebut. Hal yang paling mendasar dalam penemuan identitas diri sejati adalah adanya perasaan sebagai individu yang unik, merasakan “aku” sebagai pusat dan subyek aktif dari potensi-potensinya, dan mengalami dirinya apa adanya, bebas dari tekanan otoritas tertentu.

Kebalikan dari penemuan identitas diri adalah keadaan individu yang menggantungkan identitasnya pada hal-hal yang bersifat eksternal, umumnya bergantung pada kelompok di mana ia menjadi bagiannya.

Tidak semua orang dapat menemukan identitas diri sejati. Mayoritas dari kita masih mengenakan identitas massa: mengabaikan potensi untuk berpikir-merasa-bertindak secara asli sesuai “cita rasa” sejatinya. Kita menggantikannya dengan pikiran, perasaan, dan tindakan sesuai dengan yang diinginkan oleh kelompok di mana kita menjadi bagiannya atau yang diinginkan oleh otoritas tertentu.

Kebutuhan identitas

“Aku adalah sebagaimana keinginanmu” merupakan judul sebuah drama yang pernah ada. Erich Fromm dalam bukunya, The Sane Society, melihat bahwa drama yang ditulis oleh Pirandello itu mencerminkan kondisi di mana rasa identitas seseorang bersandar pada rasa yang dimiliki oleh orang banyak tanpa dapat dipertanyakan (dikritisi).

Uniformitas (penyeragaman dalam berpikir, merasa, dan bertindak) dan konformitas (mengikuti sikap dan perilaku kelompok) sering kali tidak disadari dan diselubungi dengan ilusi individualitas.

Menurut Fromm, problem rasa identitas tidaklah seperti yang dipahami orang pada umumnya: semata-mata dianggap sebagai problem filosofis. Kebutuhan akan rasa identitas keluar dari kondisi dasariah eksistensi manusia dan merupakan sumber perjuangan yang amat intensif. “Karena saya tidak dapat sehat tanpa rasa aku, saya terdorong berbuat apa saja untuk mendapatkan rasa tersebut.”

Lebih lanjut Fromm menjelaskan, di balik penderitaan yang berat, status dan konformitas begitu dibutuhkan dan kadang lebih kuat dari kebutuhan untuk bertahan hidup secara fisik.

Hal ini dapat dilihat dari adanya fakta orang rela mempertaruhkan hidup, mengorbankan cinta, menyerahkan kebebasan, mengorbankan ide-ide demi menjadi suatu kelompok yang konformis, dan dengan demikian memperoleh rasa identitas, walaupun hanya ilusi belaka.

Masyarakat kita
Fakta yang disebutkan oleh Fromm pada tahun 1955 dengan konteks masyarakat Amerika itu masih tampak dalam masyarakat kita saat ini. Identitas massa tampak dari adanya orang-orang yang tidak berani berpikir, berpendapat, bersikap, dan bertindak berbeda dari kelompok di mana ia menjadi bagiannya kendati kelompoknya melakukan kesalahan.

Identitas massa juga tampak dari fenomena saat para pemuda, ibu-ibu, bapak-bapak, dan juga anak-anak digiring untuk melakukan aksi (demonstrasi atau mengikuti arus pikiran tertentu) tanpa benar-benar memahami maknanya.

Bila ditanya mengapa ia melakukan aksi itu, jawaban yang diberikan akan dicari-cari sesuai dengan apa yang kira-kira diharapkan oleh pihak yang memiliki otoritas atas dirinya atau oleh pemberi perintah.

Tampak bahwa jawaban yang diberikan bukan bersumber dari pemikiran atau perasaan asli dari dalam dirinya. Ekspresi mereka tampak kosong dengan mata bergerak mencari-cari. Atau sebaliknya, justru berlebihan dalam ekspresi, tetapi tetap tampak sebagai pembeo.

Kita juga dengan mudah menemukan bagaimana para orang dewasa (bukan hanya orang muda atau anak-anak) masih senang menyatakan, “Saya hanya menjalankan perintah” atau terlalu sering menyatakan, “Menurut petunjuk …….”.

Begitu sering kita menemukan fenomena identitas massa, tak lain merupakan hasil pendekatan otoriter yang diterapkan secara kolektif pada masa lalu. Pada level pemerintah, kita mengenal rezim Soeharto yang selama 30-an tahun menggunakan pendekatan militeristik. Pada level keluarga, banyak orangtua yang mengalami keotoriteran penguasa meneruskan pendekatan itu dalam keluarga.

Bukan hanya keotoriteran yang memungkinkan berkembangnya identitas massa. Dalam masyarakat, kita juga dapat melihat berbagai gaya hidup telah menjadi begitu penting dan “mengatur” bagaimana orang mengembangkan identitas dirinya.
Tampak kegelisahan orang-orang untuk selalu dapat mengikuti gaya hidup tertentu yang pada umumnya berbau materialisme. Mereka telah berilusi “menemukan identitas diri” dengan menjadi bagian dari kelompok dengan gaya hidup tertentu.

Identitas dan moralitas
“Malu” merupakan hal yang diharapkan oleh masyarakat bila seseorang diketahui melakukan tindakan amoral, melanggar norma masyarakat. Rasa malu merupakan pertanda bahwa seseorang mempertimbangkan pikiran dan perasaan masyarakat pada umumnya.

Memiliki rasa malu memang lebih baik daripada tidak memiliki rasa malu ketika seseorang berbuat amoral. Namun, bila hanya memiliki rasa malu, tanpa merasa bersalah karena telah mengingkari suara hatinya sendiri, hal itu berarti ia masih membuka peluang diri untuk melakukan tindakan amoral berikutnya asalkan tidak diketahui oleh masyarakat. Identitas diri yang dikembangkan orang seperti ini masih berupa identitas massa.

Hal yang paling penting bila seseorang berbuat amoral adalah adanya rasa bersalah karena telah mengingkari suara hatinya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah mengembangkan identitas diri tidak hanya berdasarkan otoritas massa, tetapi juga telah bersentuhan dengan suara hati yang merupakan sumber dari identitas sejati yang dapat dimiliki setiap orang.

Mental yang sehat
Kebutuhan fisik (makan, minum, seks) merupakan kebutuhan dasar manusia yang tidak berbeda dengan binatang. Meskipun kebutuhan dasar ini sepenuhnya terpuaskan, bukanlah jaminan bagi kesehatan dan kesejahteraan mental. Fromm berpendapat bahwa kesehatan dan kesejahteraan mental bergantung pada pemuasan kebutuhan-kebutuhan yang khas manusiawi: kebutuhan akan keterbukaan hubungan, transendensi (menyadari sebagai manusia ciptaan dan kebutuhan untuk mengatasi keadaan sebagai ciptaan yang pasif), keberakaran (menemukan akar-akar manusiawi yang baru), rasa identitas, serta kerangka orientasi (intelektual) dan pengabdian. Tampak kebutuhan akan rasa identitas merupakan salah satu dari kebutuhan khas manusiawi.

Bila kebutuhan dasar tidak terpenuhi, akan berkembang kondisi tidak sehat. Kendati terpenuhi, jika hal itu terpuaskan dengan cara tidak memuaskan, akan timbul konsekuensi berkembangnya neurosis (gangguan mental dalam keadaan masih dapat berinteraksi dengan orang lain berdasarkan realitas).

Secara ringkas, Fromm menjelaskan, kesehatan mental dicirikan oleh kemampuan mencintai dan mencipta dengan melepaskan diri dari ikatan-ikatan inses terhadap klan dan tanah air, dengan rasa identitas yang berdasarkan pengalaman akan diri sebagai subyek dan pelaku dorongan-dorongan dirinya, dengan menangkap realitas di dalam dan di luar diri, melalui pengembangan obyektivitas dan akal budi.

http://kesehatan.kompas.com/read/2010/02/15/08551613/Siapakah.Aku.

Salam Perkenalan

hallow kawan,
salam hangat dan sejahtera untuk kawan blogger semua. postingan ini merupakan posting blog saya yang pertama. blog yang saya buat ini, nanti akan saya isi dengan tulisan-tulisan saya dan artikel-artikel yang informatif dan bermanfaat bagi pembaca semua. thx.