Ilustrasi
JAKARTA,
KOMPAS.com — Ini
merupakan pertanyaan mendasar yang dibutuhkan jawabannya oleh setiap manusia. Individu disebut sehat secara psikologis jika menemukan
dirinya sebagai pribadi unik tanpa keterpisahan dari orang lain. Kendati
perasaannya menyatu dengan semua orang, ia tidak meleburkan diri pada kelompok
secara membabi buta alias mengenakan identitas massa.
“Saya seorang pengusaha”, “saya seorang polisi”, “saya seorang dokter”, “saya
orang Jawa”, ”saya keturunan Arab”, “saya beragama Islam”, “saya orang
Katolik”, dan sebagainya merupakan pernyataan yang dapat sangat berarti.
Kebangsaan, suku, agama, status/profesi sering kali membantu memberikan rasa
identitas sebelum seseorang menemukan yang asli dan unik.
Untuk mengetahui adanya kesadaran mengenai identitas sejati dalam diri kita,
dapat dibayangkan dengan mengandaikan situasi ketika seseorang bertanya, “Siapakah aku menurut yang kamu ketahui?” Mungkin ada
yang menjawab, “Kamu seorang pengusaha yang sukses”
atau “Kamu orang Ambon beragama Islam”, dan lain-lain.
Apakah kita cukup puas dengan mengetahui identitas kita seperti itu?
Apakah kita sudah merasa sangat berharga dengan keanggotaan kita dalam suatu
kelompok kebangsaan, suku, agama, status/profesi?
Jawaban seperti itu tidak akan cukup memuaskan orang yang telah menemukan siapa
sejati dirinya. Ia baru akan puas bila mendapat jawaban yang sesuai dengan
pengenalannya terhadap diri sendiri yang unik, seperti “Kamu itu sersan: tampak
santai-santai ternyata serius,” atau “Kamu orang yang unik: tegas tetapi lembut
juga,” atau “Kamu ini bertampang residivis, tetapi berhati malaikat,” dan
sebagainya.
Namun, penemuan identitas diri sebenarnya tidaklah sesingkat jawaban-jawaban
tersebut. Hal yang paling mendasar dalam penemuan identitas diri sejati adalah
adanya perasaan sebagai individu yang unik, merasakan “aku” sebagai pusat dan
subyek aktif dari potensi-potensinya, dan mengalami dirinya apa adanya, bebas
dari tekanan otoritas tertentu.
Kebalikan dari penemuan identitas diri adalah keadaan individu yang
menggantungkan identitasnya pada hal-hal yang bersifat eksternal, umumnya
bergantung pada kelompok di mana ia menjadi bagiannya.
Tidak semua orang dapat menemukan identitas diri sejati. Mayoritas dari kita
masih mengenakan identitas massa: mengabaikan potensi untuk
berpikir-merasa-bertindak secara asli sesuai “cita rasa” sejatinya. Kita
menggantikannya dengan pikiran, perasaan, dan tindakan sesuai dengan yang
diinginkan oleh kelompok di mana kita menjadi bagiannya atau yang diinginkan
oleh otoritas tertentu.
Kebutuhan identitas
“Aku adalah sebagaimana keinginanmu” merupakan judul sebuah drama yang pernah
ada. Erich Fromm dalam bukunya, The Sane Society, melihat bahwa drama
yang ditulis oleh Pirandello itu mencerminkan kondisi di mana rasa identitas
seseorang bersandar pada rasa yang dimiliki oleh orang banyak tanpa dapat
dipertanyakan (dikritisi).
Uniformitas (penyeragaman dalam berpikir, merasa, dan bertindak) dan
konformitas (mengikuti sikap dan perilaku kelompok) sering kali tidak disadari
dan diselubungi dengan ilusi individualitas.
Menurut Fromm, problem rasa identitas tidaklah seperti yang dipahami orang pada
umumnya: semata-mata dianggap sebagai problem filosofis. Kebutuhan akan rasa
identitas keluar dari kondisi dasariah eksistensi manusia dan merupakan sumber
perjuangan yang amat intensif. “Karena saya tidak dapat sehat tanpa rasa aku,
saya terdorong berbuat apa saja untuk mendapatkan rasa tersebut.”
Lebih lanjut Fromm menjelaskan, di balik penderitaan yang berat, status dan
konformitas begitu dibutuhkan dan kadang lebih kuat dari kebutuhan untuk
bertahan hidup secara fisik.
Hal ini dapat dilihat dari adanya fakta orang rela mempertaruhkan hidup,
mengorbankan cinta, menyerahkan kebebasan, mengorbankan ide-ide demi menjadi
suatu kelompok yang konformis, dan dengan demikian memperoleh rasa identitas,
walaupun hanya ilusi belaka.
Masyarakat kita
Fakta yang disebutkan oleh Fromm pada tahun 1955 dengan konteks masyarakat
Amerika itu masih tampak dalam masyarakat kita saat ini. Identitas massa tampak
dari adanya orang-orang yang tidak berani berpikir, berpendapat, bersikap, dan
bertindak berbeda dari kelompok di mana ia menjadi bagiannya kendati
kelompoknya melakukan kesalahan.
Identitas massa juga tampak dari fenomena saat para pemuda, ibu-ibu,
bapak-bapak, dan juga anak-anak digiring untuk melakukan aksi (demonstrasi atau
mengikuti arus pikiran tertentu) tanpa benar-benar memahami maknanya.
Bila ditanya mengapa ia melakukan aksi itu, jawaban yang diberikan akan
dicari-cari sesuai dengan apa yang kira-kira diharapkan oleh pihak yang
memiliki otoritas atas dirinya atau oleh pemberi perintah.
Tampak bahwa jawaban yang diberikan bukan bersumber dari pemikiran atau
perasaan asli dari dalam dirinya. Ekspresi mereka tampak kosong dengan mata
bergerak mencari-cari. Atau sebaliknya, justru berlebihan dalam ekspresi,
tetapi tetap tampak sebagai pembeo.
Kita juga dengan mudah menemukan bagaimana para orang dewasa (bukan hanya orang
muda atau anak-anak) masih senang menyatakan, “Saya hanya menjalankan perintah”
atau terlalu sering menyatakan, “Menurut petunjuk …….”.
Begitu sering kita menemukan fenomena identitas massa, tak lain merupakan hasil
pendekatan otoriter yang diterapkan secara kolektif pada masa lalu. Pada level
pemerintah, kita mengenal rezim Soeharto yang selama 30-an tahun menggunakan
pendekatan militeristik. Pada level keluarga, banyak orangtua yang mengalami
keotoriteran penguasa meneruskan pendekatan itu dalam keluarga.
Bukan hanya keotoriteran yang memungkinkan berkembangnya identitas massa. Dalam
masyarakat, kita juga dapat melihat berbagai gaya hidup telah menjadi begitu
penting dan “mengatur” bagaimana orang mengembangkan identitas dirinya.
Tampak kegelisahan orang-orang untuk selalu dapat mengikuti gaya hidup tertentu
yang pada umumnya berbau materialisme. Mereka telah berilusi “menemukan
identitas diri” dengan menjadi bagian dari kelompok dengan gaya hidup tertentu.
Identitas dan moralitas
“Malu” merupakan hal yang diharapkan oleh masyarakat bila seseorang diketahui
melakukan tindakan amoral, melanggar norma masyarakat. Rasa malu merupakan
pertanda bahwa seseorang mempertimbangkan pikiran dan perasaan masyarakat pada
umumnya.
Memiliki rasa malu memang lebih baik daripada tidak memiliki rasa malu ketika
seseorang berbuat amoral. Namun, bila hanya memiliki rasa malu, tanpa merasa
bersalah karena telah mengingkari suara hatinya sendiri, hal itu berarti ia
masih membuka peluang diri untuk melakukan tindakan amoral berikutnya asalkan
tidak diketahui oleh masyarakat. Identitas diri yang dikembangkan orang seperti
ini masih berupa identitas massa.
Hal yang paling penting bila seseorang berbuat amoral adalah adanya rasa
bersalah karena telah mengingkari suara hatinya sendiri. Hal ini menunjukkan
bahwa yang bersangkutan telah mengembangkan identitas diri tidak hanya
berdasarkan otoritas massa, tetapi juga telah bersentuhan dengan suara hati
yang merupakan sumber dari identitas sejati yang dapat dimiliki setiap orang.
Mental yang sehat
Kebutuhan fisik (makan, minum, seks) merupakan kebutuhan dasar manusia yang
tidak berbeda dengan binatang. Meskipun kebutuhan dasar ini sepenuhnya
terpuaskan, bukanlah jaminan bagi kesehatan dan kesejahteraan mental. Fromm
berpendapat bahwa kesehatan dan kesejahteraan mental bergantung pada pemuasan
kebutuhan-kebutuhan yang khas manusiawi: kebutuhan akan keterbukaan hubungan,
transendensi (menyadari sebagai manusia ciptaan dan kebutuhan untuk mengatasi
keadaan sebagai ciptaan yang pasif), keberakaran (menemukan akar-akar manusiawi
yang baru), rasa identitas, serta kerangka orientasi (intelektual) dan
pengabdian. Tampak kebutuhan akan rasa identitas merupakan salah satu dari
kebutuhan khas manusiawi.
Bila kebutuhan dasar tidak terpenuhi, akan berkembang kondisi tidak sehat.
Kendati terpenuhi, jika hal itu terpuaskan dengan cara tidak memuaskan, akan
timbul konsekuensi berkembangnya neurosis (gangguan mental dalam keadaan masih
dapat berinteraksi dengan orang lain berdasarkan realitas).
Secara ringkas, Fromm menjelaskan, kesehatan mental dicirikan oleh kemampuan
mencintai dan mencipta dengan melepaskan diri dari ikatan-ikatan inses terhadap
klan dan tanah air, dengan rasa identitas yang berdasarkan pengalaman akan diri
sebagai subyek dan pelaku dorongan-dorongan dirinya, dengan menangkap realitas
di dalam dan di luar diri, melalui pengembangan obyektivitas dan akal budi.
http://kesehatan.kompas.com/read/2010/02/15/08551613/Siapakah.Aku.